Dulu, namanya sering disebut-sebut sebagai jantung masa depan Timnas Indonesia. Di setiap sudut lapangan, anak-anak kecil bermimpi bisa bermain seperti Evan Dimas.
Mereka semua percaya, dengan sepenuh hati, bahwa dia adalah jawaban dari harapan panjang sepak bola negeri ini. Kadang, saya pun merasakan harapan itu, betapa begitu besar impian kita sebagai bangsa untuk melihatnya sukses.
Namun, ingatan itu terasa begitu pahit. Final SEA Games 2019, menit ke-21. Di tengah gemuruh semangat dan harapan jutaan rakyat Indonesia, Evan berdiri di sana. Tanpa bola, tanpa ancaman, tanpa curiga.
Lalu, datanglah sebuah tekel keras—begitu kejam, begitu tak terduga. Van Hau, pemain Vietnam, menjatuhkannya. Saat tubuh Evan tersungkur, saya merasa ada yang rusak lebih dari sekadar engkelnya.
Seperti ada sebuah titik balik yang tak terungkapkan, yang akan mengubah perjalanan panjang yang telah ia bangun sejak kecil.
Malam itu, ia meninggalkan lapangan dengan air mata di wajahnya. Bukan hanya karena rasa sakit di kaki kirinya, tapi karena ia tahu, di dalam hatinya, ada sesuatu yang telah berakhir.
Mungkin bukan kariernya secara keseluruhan, tapi versi terbaik dari dirinya, yang telah dibangun penuh harapan dan perjuangan, seakan pergi malam itu juga.
Cedera ligamen ATFL yang mengerikan itu bukan hanya luka fisik. Luka yang lebih dalam, yang tak bisa terlihat dalam hasil MRI, tinggal di benaknya—dalam setiap detik saat ia menyaksikan mimpinya yang begitu besar menghilang begitu saja.
Dan sejak saat itu, Evan tak pernah benar-benar kembali. Rasanya saya bisa merasakannya, betapa hancurnya momen itu.
Sekarang, di usia 30 tahun, Evan Dimas tak lagi memiliki klub. Tempatnya di Timnas pun seakan telah lama hilang, terlupakan. Kenangan terakhir mengenakan seragam Merah Putih adalah pada laga persahabatan melawan Timor Leste di awal 2022, di mana ia dipercaya menjadi kapten oleh Coach Shin Tae-yong.
Melihatnya, saya merasa seolah melihat sebuah gambaran tentang bagaimana sebuah mimpi yang besar bisa perlahan pudar tanpa sempat mencapai puncaknya.
Dari seorang anak emas sepak bola Indonesia, kini Evan berdiri sendiri. Mengenang masa kejayaannya, meskipun banyak yang mulai melupakan namanya.
Saya teringat kembali pada banyak orang yang dulu bersorak saat ia bermain—sekarang mungkin hanya sedikit yang masih ingat.
Evan Dimas bukanlah seorang yang gagal. Tidak. Ia hanya korban dari takdir yang kejam. Seorang pejuang yang terjatuh terlalu dini, yang tak pernah diberi kesempatan untuk bangkit kembali.
Kadang saya bertanya, apakah ada ruang untuk peluang kedua dalam dunia yang keras ini? Sebuah perjalanan yang penuh harapan, namun terluka begitu dalam.
Yuk Gabung Grup >> Info Timnas Indonesia
Biar Kamu Nggak Pernah Ketinggalan Info Terbaru Seputar Timnas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kami membutuhkan admin,bantu kamim untuk memperbesar anggota manchunian & manchuniangel.
Komen di bawah dengan menyertakan :
Nama :
E-mail :
Dan kirimkan foto tentang Manchunian atau MU ke Misrani_motri@yahoo.co.id